Dunia Imajinasi Anak Vs Dunia Nyatanya


Faktaanak.com - Ini kisahku tentang dunia yang pernah kusinggahi dulu. Sebelumnya aku akan mengutip perkataan  kak seto, yakni “Dunia Anak adalah Dunia Bermain”. Benar. Dulu semasa kecilku aku hanya diperkenalkan beragam permainan yang mengasyikkan, atau mendengarkan lagu anak-anak seperti “Dua Mata Saya”, “Topi Saya Bundar”, Atau “Bintang Kecil di Langit yang Biru” di layar televisi yang sengaja ayahku putarkan untukku. 


Masa Perkenalan dan Belajar

Aku juga diperkenalkan bagaimana mencintai ibu dan ayah, nenek dan kakek, saudara-saudaraku ketika segala pertanyaan orang-orang dewasa tertuju padaku. 

“Anak ibu, sayang tidak sama ayah?”

“Anak ayah, sayang tidak sama ibu?”

“Anak ibu dan ayah sayang tidak sama nenek dan kakek?”

Aku jawab saja dengan polos kala itu bahwa aku menyayangi ayah dan orang-orang yang mereka ingin kusayangi.  Begitu pun sebaliknya segala pertanyaan yang entah apa kumaknainya kala itu, kujawab saja sesuai permintaan mereka yang kupikir, ya, itu adalah perihal yang baik.

Hari-hari yang Berkesan

Tiada hari tanpa meninggalkan kenang. Begitulah kumaknai segala hari masa kecilku yang penuh bersama kenang-kenangan manis. Dulu, aku  memiliki kolam ikan lele di belakang rumah. Bentuknya persegi. Tidak terlalu besar dan kecil namun cukup diisi oleh puluhan ikan lele yang ayahku budidayakan. 

Dulu seingatku, aku sering menemani ayahku memancing ikan lele. Sebelum memancing, ayahku tidak segera ke kolam melainkan ke sebuah tanah basah yang ada di sebelah rumahku. Tanahnya lembab dan kadang-kadang membuat kakiku menjadi kotor walau sudah kupakaikan sandal. Awalnya aku hanya melihat aktivitas ayah yang sedang menggali kecil tanah yang berada didekatnya. Lalu, kulihat tiba-tiba sebuah makhluk hidup yang menggeliat berwarna merah muda muncul ke permukaan tanah. Ayah mengatakannya itu adalah cacing untuk makanan ikan.

Memancing Bersama Ayah

Aku pun diperintahkan mengambil gelas kosong bekas minuman untuk menampung cacing-cacing itu. Aku senang sekali ketika ayah kerap kali berhasil menemukan cacing-cacing itu. Setelah sekiranya cukup, kami pun menuju kolam. Segera ayahku kaitkan cacing-cacing itu ke mata kail di masing-masing alat pemancing kami. Dulu, alat pemancing kami hanya terbuat dari bambu. Punyaku sedikit berukuran kecil dari sang ayah.

Sepanjang menunggu ikan yang akan memakan umpan kami, aku dan ayah sering bercengkarama seputar ikan. Terkadang sesekali aku mengeluh karena sudah beberapa jam tak ada satu pun dari pancingan kami yang bergerak. Kata Ayah, kita mesti bersabar. Karena dulu aku masih kecil, aku cepat merasakan bosan. Alhasil kubiarkan saja pancinganku di pinggir kolam dan bermain masak-masakan di bawah pohon jeruk bali yang tidak jauh dari kolam kami. Sedangkan ayahku hanya senyum-senyum saja melihat tingkahku waktu itu.

Memperoleh Hasil Tangkapan Ikan

Beberapa menit kemudian, ayahku memanggilku, “Nak, cepat sini, pancingan ayah ditarik ikan.” Aku pun segera bergegas menemui ayah dan membiarkan masak-masakanku.

“Tarik, Ayah. Tarik terus, Yah.” Aku sangat antusias sekali kala itu.

“Wah, kayaknya ikannya besar ini,” Kata ayah.

Setelah beberapa menit ayahku  perang sengit melawan tenaga sang  ikan yang mencoba ingin lepas dari mata kail,  sang ikan pun menyerah dan akhirnya ayah menang. Ayahku memang gagah. kami ternyata mendapatkan ikan lele jumbo.

“Kasih ke nenek ini biar bisa kita makan.”

“Horee!” Kataku. Arggh kau pasti bisa bandingkan rasa ikan yang dibeli dengan ikan yang di pancing bersama orang yang kita sayang. Rasanya beda, lebih nikmat dan gurih bersama hari yang kita habiskan bersama orang terkasih.

Seorang Perempuan yang Berbeda

Lanjut lagi, aku ini seorang perempuan namun dulu aku seperti lelaki. Hobiku bermain layang-layang dan Tamia bersama kakak ponakkanku. Namun, jangan beri tahu ayahku perihal ini, nanti ia bakalan marah. Ayahku sering melarangku bermain layang-layang. Alasannya sederhana bahwa anak perempuan tidak boleh main panas-panasan lebih baik tidur siang.

Bukan aku yang dulu namanya jika menuruti kata ayah. Maklumin saja, dulu aku masih kecil, rasa bebas untuk bermain masih mendominasikan pikiranku kala itu. Aku pun bermain layang-layang dengan strategi sembunyi-sembunyi. Dulu depan rumahku awalnya sebuah lapangan yang sangat luas, namun, sekarang sudah berganti pasar. Karena dulu jarak lapangan dengan rumahku  hanya beberapa langkah saja, ini merupakan keuntunganku untuk lebih leluasa bermain layang-layang. 

Berimajinasi Bersama Layang-layang

Aku memang tidak bisa menerbangkan layang-layang dan selalu meminta kakak ponakkanku untuk membantuku.  Namun, aku senang sekali  jika memainkan layang-layang. Menggerakkannya ke kiri ke kanan. Dulu aku berimajinasi layang-layang itu sama halnya dengan pesawat. Sama-sama bisa terbang tinggi ke angkasa. Aku suka sekali. Tapi rasanya tidak sedap kalau  hanya memainkannya saja. 

Dulu aku, kakak ponakkanku, dan teman-temannya pernah beradu main layang-layangan. Bahasa kami menyebutnya “Layangan Lego” yang mana jika salah satu layangan lawan terputus semua orang berhak merebutkan layangan itu.

Dunia Main yang Penuh Kegembiraan

Kebayang sensasi berlari mengikuti layangan yang terputus itu bersama sekelompok orang yang mayoritasnya anak lelaki.  Seru sekaligus menantang. Namun, jangan salah, aku berhasil mendapatkan layangan lego itu mesti harus beradu kekuatan berlari mengejar layangan itu dengan anak lelaki lainnya. Kuingat waktu itu, para lelaki yang tidak berhasil merebut layangan itu semua pada mengeluh kompak. Aku pun tertawa saja dan berlari menemui kakak ponakkanku. Respon kakakku? Jangan ditanya dia hanya menggelengkan kepala saja. Iya begitulah aku sewaktu kecil.  Seorang anak dengan dunia mainnya yang penuh kegembiraan. 

Imajinasi Seorang Anak

Nah, bagiku ada satu hal orang dewasa tidak ketahui  kepada anak-anak adalah imajinasi anak. Namun, sayangnya Imajinasi anak yang dibiarkan begitu aja sampai ia mengakui imajinasinya itu di dunia nyata. Misalnya salah satu contoh sederhananya saja.

“Ibu, rumah Ule itu dimana, ya?

“Lah kamu tidak ingat apa? Kemarin ibu ajak main ke rumah Ule.”

Padahal ule itu adalah salah satu pameran film yang anak tersebut tonton. Tentu saja hal tersebut berbeda dengan dunia nyata sang anak karena faktanya anak tersebut tidak pernah menggunjungi rumah sang aktor yang ia tanyai pada sang ibu. Lalu, apa tanggapan sang anak setelahnya? Anak tersebut pun akan berpikir keras mengingat kejadian kapan ia pernah mengunjungi rumah ule seperti ibunya katakan. Setelah ia menyerah dengan ingatannya, maka, ia akui saja jika hal tersebut benar.

Mengarahkan Imajinasi Anak dengan Benar

Namun, apa dampak yang akan terjadi jika orang-orang terdekat anak membiarkan imajinasi-imajinasi mereka berkembang tidak sesuai dengan alurnya. Maksudnya adalah imajinasi-imajinasi anak yang diibaratkan masih seperti kertas putih bak belum menemui ujung tinta hitam ini seharusnya tinta yang akan ditolehkan pada ingatan sang anak memang benar sesuai faktanya bukan imajinasinya. Karena kelak ketika dewasa sang anak akan mengganggap apa yang pernah ia tanyakan dan ia dengarkan jawaban itu dari orang yang ia percaya adalah semuanya benar. Ini tentu merugikan perkembangan psikologis bagi sang anak.

Maka, ini adalah tantangan kedua orangtua bagaimana ia mampu mensinkronisasikan imajinasi anak dengan dunia nyata. Karena dunia anak adalah dunia bermain. Dimana anak bebas  bermain dengan imajinasinya namun jangan lupa arahkanlah imajinasinya dengan hal-hal yang positif saja. 

Demikianlah tulisan Dunia Imajinasi Anak Vs Dunia Nyatanya yang saya buat, mohon maaf jika ada kesalahan dan terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pembaca. Penulis dalam artikel ini adalah Rye Ayu Cendani. Trimakasih.

14 Komentar untuk "Dunia Imajinasi Anak Vs Dunia Nyatanya"

  1. Jadi plesbek dah 😂😂
    Ceritanya bener-bener menarik, terus berkarya kawan

    BalasHapus
  2. Uwaww jd flasback masa kecil gue. 😂😂😅 indahny masa kecil tanpa gadget
    #jamanmasihold

    BalasHapus
  3. Yang mainnya gak takut kotor dan panas. 😅 makasih zizah.

    BalasHapus
  4. Cerita yang menarik. Mengingat masa kecil, rasa ingin kembali ke masa itu. Namun sekarang hnya bisa menceritakanny kepada anak cucu kelak.

    BalasHapus
  5. Benar. Cuma bisa mengenang sekarang. Gak bisa lagi mutarke waktu. Makasih taufik atas commentnya. 😅

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel