Aku Adalah Anak Pertama, Wajib Baca!


Faktaanak.com - Kebetulan saya adalah anak pertama dari ayah dan ibuku. Kami adalah empat bersaudara dengan saya sebagai kakak perempuan yang memiliki tiga adik, yaitu satu adik perempuan dan dua adik laki-laki. Sebagaimana seperti umumnya keluarga kecil yang dibangun ayah ibuku pada awal-awal beliau berdua menikah dan memiliki anak pertama, tentu bukan hal yang mudah. Hal itu bisa saya rasakan kala itu, karena saya tahu setiap pagi ayah harus pergi ke pasar mengantar nenek yang masih berjualan di pasar. 

Belajar tentang Kerja Keras

Ayahku sejak sebelum menikah memang sudah setiap hari mengantarkan nenek ke pasar dengan membawa seluruh perbekalan jualan nenek, mulai dari daun pisang, papaya, nangka, dan segala jenis hasil kebun nenek. Tidak hanya itu, ayah juga selalu membantu ibunya untuk mencari bahan dagangan di kebun untuk esoknya dijual nenek. Baru setelah nenek di pasar, ayah bisa melaksanakan profesinya sebagai guru, yaitu berangkat ke sekolah dan mengajar. Dari sini, saya sudah setiap hari disuguhkan tentang arti kata kerja keras. 

Ayah selalu mendidik anak-anaknya untuk tertib, tahan banting, rajin beribadah, dan pastinya harus taat kepada orang tua. Tak jarang ayah memberi peringatan kepada anak-anaknya saat ada yang berusaha membangkang. Pernah suatu ketika setelah aku dimarahi oleh ayah, dan aku menangis kencang sambil berdiri, ayah dan ibu hanya membiarkanku saja sampai sesenggukanku berhenti sendiri karena kelelahan menangis (satu pelajaranku saat itu adalah ternyata menangis itu juga menghabiskan energi…hihihi). Sepertinya memang aku pada posisi salah saat itu. Walaupun aku sendiri tidak ingat persis apa kesalahanku saat itu.

Tegas dalam Mendidik

Suatu ketika juga pernah saat aku kelas 3 SD, di mana semestinya anak perempuan memang sudah terlatih dan diwajibkan mengerjakan sholat 5 waktu sebagaimana hukum untuk wanita baligh berlaku setelah berusia 9 tahun. Sebenarnya saat kelas 3 SD, saya belum genap 9 tahun, karena saya masuk SD sekitar 5,5 tahun. Tetapi saat itu ibu sudah mengajarkanku untuk tertib sholat 5 waktu. Walaupun sempat ada insiden harus kejar-kejaran dan sampai ibu membawa sapu untuk bersiap memukulku saat saat saya hendak kabur. Ibu memukulku bukan berarti ini adalah kekerasan dalam mendidik anak, hanya saja saya memandang itu adalah sebagai wujud cara mendidik ibu untukku agar saya tertib sholat 5 waktu. Dan sikap orang tua untuk memukul anak saat tidak mau sholat dibenarkan dalam agama kami.

Siang itu saat ibu menyuruhku untuk segera melaksanakan sholat dhuhur, saya tidak segera bergegas untuk sholat, melainkan malah jadi malah lari-lari sehingga menjadi uber-uberan (buronan) ibu. Setelah muter-muter yang lumayan capek, akhirnya saya mengatakn “iya” untuk segera sholat. Dan kemudian baru ibu pergi meninggalkanku. Dan di saat ibu pergi, aku juga malah ikut pergi  berlawanan arah, yaitu ke pekarangan rumah. Entah niat saya saat itu untuk lanjut bermain atau apa, saya tidak ingat betul. Hanya saja, saat saya ke pekarangan rumah belakang dan sambil mendongkol karena masih belum mau segera sholat alias masih mbulet saja. Tiba-tiba ada sesuatu yang mengenai saya, yang jatuh dari pohon nangka. Seketika saya kaget dan melempar benda itu. Dan ternyata sesuatu itu adalah ular kecil yang jatuh dari pohon nangka. Langsung saja, saya memutar badan dan lari terbirit-birit, kemudian segera sholat duhur. 

Melaksanakan Perintah Orang Tua

Satu hal yang saya pelajari dari itu semua sebagai anak kecil adalah : pertama, jika disuruh ibu untuk sholat, maka segeralah! Hal ini berlaku juga untuk perintah yang lain, karena daripada akan kena apes jika membangkang…hehe (tetapi dasar hukum sebenarnya bukan itu ya, melaiknkan adalah karena memang saat disuruh orang tua, maka berlaku hukum wajib bagi anak untuk melaksanakannya, terkecuali dalam hal yang bertentangan dengan akidah); kedua, jangan suka bermain di pekarangan rumah di siang hari karena akan ada hal-hal tidak terduga, mendingan di dalam rumah atau tidur siang saja, dijamin lebih aman.

Pengalaman saat saya memiliki adik pertamaku yang dan akhirnya saya merangkap status selain sebagai anak tetapi juga kakak, sejauh yang saya ingat saya tidak pernah membenci kehadirannya. Hanya saja memang sempat sebagai anak pertama, ada beberapa sikapku yang saat itu secara tidak langsung bisa disebut ala-ala senioritas. Padahal sebenarnya saat saya anak-anak juga belum mengerti yang namanya senioritas atau superior. Sering adik pertamaku saat saya ajak main bersama, ujung-ujungnya dia akan menangis. Entah karena canda kami saat itu terlalu asyik, sehingga antara tangan kami ikut serta tak sengaja memukul atau hal-hal kecil lain yang akhirnya memicu untuk saling wadul (mengadukan) ke ibu dengan menganggap diri masing-masing yang paling benar.

Baik Buruk dalam Bersikap

Pernah suatu ketika karena keaktifan tanganku, kukuku yang panjang saat itu menggoreskan bekas luka di wajah adik perempuanku. Sepertinya karena saat kami bermain, lalu kami bertengkar dan saya menggrauk nya atau bagaimana, tapi intinya wajah adikku jadi bermotif dan dia menangis sejadi-jadinya. Kadang saya berpikir juga, “kok bisa dulu setega itu sama adik sendiri?!”. Dan berharap semoga anak-anakku kelak tidak sebegitunya. Walau misal itu terjadi, juga harus dimaklumi sebagai hal biasa sambil terus didampingi agar anak mengerti hal baik dan buruk dalam bersikap.

Semakin bertambah usia, tentu saya semakin mengerti bahwa sebagai kakak saya harus bisa menjadi contoh bagi adik-adik. Saya menjadi tahu makna tanggung jawab dan makna berbagi. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa saat saya masih menjadi anak satu-satunya ayah dan ibu, seluruh perhatian ayah dan ibu hanya untukku. Tetapi setelah kehadiran adik perempuanku, saya rasa itu adalah masa transisi saya untuk mengerti apa makna berbagi kasih sayang dan belajar tentang menyayangi. Sehingga saat adik kedua dan ketiga hadir, justru mereka mejadi pelengkap dan warna dalam hari-hariku.


Gaya Ayah dalam Mendidik

Cara mendidik ayah terhadap saya dan kepada adik-adik juga tidak sama. Tidak sama dalam hal perlakuannya, tetapi maksud dan harapannya sama, yaitu kami dicetak menjadi anak yang mengerti tentang makna perjuangan, kerja keras, tanggung jawab, saling berbagi dan peduli, serta taat pada agama dan orang tua. Saya merasa seiring dengan makin bertambahnya usia ayah, ayah semakin sabar dalam mendidik anak-anaknya. Sabar bukan berarti tidak tegas lho ya! 

Kehidupan keluarga kami disaat saya sudah memiliki ketiga adik juga alhamdulillah telah berubah banyak dengan berlimpah kebahagiaan dan bisa saya katakan lebih dari cukup. Sungguh sangat berdosa jika masih saja tidak bersyukur atas semua ini. Perubahan pola mendidik ayah terhadap anak-anaknya ini saya pikir juga ada hubungannya dengan semakin bertambahnya usia ayah dan anak-anaknya. Di saat adik-adik bisa dengan melihat dan mencontoh sikap kakaknya, sementara saya sebegai anak pertama dulu tidak bisa melihat sosok teladan selain dari ayah dan ibu. Oleh karenanya “menjadi teladan” adalah hal yang sudah sepatutnya melekat pada diri seorang kakak. Terlebih sebagai kakak pertama. 

Menerima Segala Kekurangan dan Kelebihan Masing-masing

Hingga akhirnya setelah kami semua dewasa, kami bisa saling memberikan support satu sama lain. Tak jarang saya pun merasa adik-adikku juga lebih dewasa daripada saya dalam beberapa hal. Dengan menerima segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, tanpa saling merendahkan, dan tetap saling mengingatkan dalam kebaikan, akhirnya kehidupan ini kami jalani hingga sekarang. Semoga sampai tua saya bersama adik-adik mampu terus dalam jalinan kasih sayang dan menjadi ladang amal jariyah bagi orang tua kami khususnya. Amiin.

Demikianlah tulisan Aku Adalah Anak Pertama yang saya buat, mohon maaf jika ada kesalahan dan terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pembaca. Penulis dalam artikel ini adalah Happy Kamal Rizqi. Trimakasih.

1 Komentar untuk "Aku Adalah Anak Pertama, Wajib Baca!"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel