Cerita Anak Pinggiran Ibu Kota

FaktaAnak.Com- Cerita nyata masa anak-anak menjadi salah satu kondisi yang cukup menarik untuk ditulis. Apalagi berhubungan dengan pinggiran kota yang notabene menjadi daerah-daerah yang kurang populer. Oleh karena itulah pada tulisan ini akan membagikan salah satu Cerita Anak dengan judul "Bocah Bambu, Cerita Anak Pinggiran Ibu Kota".

Cerita Anak


Saat itu, Muncul cerita lokal di daerahku bahwa terdapat makhluk yang sekujur badannya penuh dengan warna hijau dan hanya mengenakan celana dalam atau mungkin sejenis koteka. Konon, makhluk tersebut mengincar korban wanita dan sedang berkeliaran dari Bekasi bahkan sudah sampai di daerah ku, Tangerang Selatan. Bagi anak seusiaku yang kala itu masih duduk di sekolah dasar adalah hal yang luar biasa menakutkan dan menantang. Aku harus siap menjaga ibu dan kakakku.

Bambu Sebagai Kawan Aku dan Kawan-Kawanku sering menghabiskan waktu di hutan bambu (Sekarang sudah menjadi perumahan) yang terletak di pinggir jalan tol penghubung Merak – Jakarta. Rimbunnya bambu yang tumbuh subur diiringi semilir angin yang menimbulkan gesekan dedaunan bambu ditambah bunyi mobil yang hilir mudik jalan tol memberikan suasana tenang dan nyaman.

Setiap sepulang sekolah selalu aku sempatkan bermain disana. Banyak permainan yang bisa kami mainkan. Salah satu yang menjadi faforitku adalah meluncur dari ketinggian menggunakan gabungan dari beberapa bambu yang dipadukan dengan pelepah pohon kelapa. Memanfaatkan salah satu luasan tanah dengan kontur di atas yang tidak terlalu curam dan dipadukan tanah landai dibawahnya sudah membuat teriakan lebar kami ketika meluncur.

Terlebih ketika ada teman yang meluncur dan mendarat tidak sempurna dibawah. Melihat tanah merah yang melekat dibajunya saja sudah membuat kami tertawa terpingkal-pingkal.

Beradu Layangan dengan Kampung Sebelah

Sumberdaya alam (bambu) kami seakan tak terbatas. Kami bebas berkreasi menggunakan potensi alam ini dan menjadikannya kesenangan hakiki setingkat bocah-bocah kampung. Kami menebang bambu dengan bijak, membilah buluh bambu memakai bendo (Sebutan golok di kampung kami) membuatnya silindris agak tipis, melekuknya dan menggabungkan berbagai bagian dengan benang dan menempelkan kertas untuk menutupi bagian bolong. Jadilah layang-layang sebagai salah satu permainan tradisional. Kemudian layang-layang tersebut kami mainkan di tanah lapang samping hutan bambu. Baca, juga; Permainan Tradisional Yang Bisa Membentuk Karakter Anak

Langit Jalan tol di musim itu dipenuhi layangan yang saling beradu. Wajar saja, Kampung kami dan kampung sebelah dipisahkan oleh jalan tol. Oleh karena itu, musim layangan menjadi ajang bergengsi bagi nama anak laki-laki dari kedua kampung. Tentulah anak-anak kampung kami yang paling bangga, sebab layangan yang melangit di sore itu merupakan buah tangan kreatif sendiri beda halnya anak-anak kampung sebelah yang merengek ke orang tua minta dibelikan layangan yang tergantung di warung. Terlebih ketika kami memperoleh kemenangan telak. Tidak seperti kami, mereka akan bangkrut. 

Pletokan Mainan Tradisional

Libur Semester tiba, buku-buku pelajaran yang sudah tidak terpakai pastinya akan selalu dikumpulkan ibu untuk ditimbang ke tukang loak demi mendapat seribu- dua ribu rupiah. Lumayan untuk menambah uang belanja.

Sebelum itu dilakukan ibu, otak licikku bertingkah. Biasanya aku sudahmengumpatkan beberapa buku untuk dijadikan amunisi permainan bernama “pletokan”. Pletokan merupakan permainan tradisional yang berasal dari Jakarta, dibawa oleh anak-anak betawi yang kemudian tinggal di kampungku karena tanah di Ibu Kota sudah habis dijual.

Untuk membuat pletokan dibutuhkan bambu tua berukuran kecil dengan panjang bervariasi berdiameter lubang 0.5 – 2 cm. Selain itu, dibutuhkan bagian penyodok yang dibuat dengan menggabungkan bambu berlubang dengan bilah bambu yang sudah dibuat silindris menyesuaikan lubang bambu.

Jika kalian bertanya mengapa disebut pletokan, itu artinya kalian harus mengetahui bunyi yang dihasilkan dari permainan ini, kurang lebih berbunyi “Tok” atau “Pletok”.

Tidak butuh waktu lama kami membuatnya, cukup lebih kurang 30 menit saja sudah mampu membuat satu buah pletokan dengan bunyi nyaring nan garang. Ibarat perang melawan penjajah, hutan bambu kami jadikan sebagai medannya.

Kertas – kertas basah kami sediakan ibarat peluru kami yang harus selalu dibawa. Satu kertas dimasukkan ke lubang, kemudian ku sodok menghasilkan kepuasanntersendiri mendengar bunyi nyaring yang dihasilkan permainan yang satu ini.

Kolor Ijo Hanya Sebatas Mitos

Selesainya dari bermain pletokan, kami duduk santai tertawa sesekali sambil melintingkan daun bambu yang kemudian disulap menjadi peluit alami bersuara merdu. Saat itu pula kami membicarakan sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan orang-orang mengenai kolor Ijo. Ada kabar bahwa kolor ijo itu takut pada bambu kuning.

Jadi, kolor ijo tidak akan masuk dalam rumah dan mengganggu wanita yang ada di dalamnya apabila di depan pintu sudah diletakkan potongan bambu kuning. Bukan hal yang sulit mencari bambu kuning. Dalam sekejap kami langsung bergegas ke rumah salah satu dari kami yang memiliki pohon bambu kuning di pekarangan rumahnya.

Benar saja, sejak kemarin malam berhembus kabar bahwa kolor ijo sudah siap meneror kampung, banyak orang yang datang ke rumah temanku untuk memetik bambu kuning yang tidak terlalu besar ukuran diameter batangnya.

Aku bergegas pulang karena hari makin malam. Aku bersiap diri, meletakkan bambu kuning hampir di setiap sudut rumah. Malamnya, Aku tidur dan berada ditengah-tengah Kakak dan Ibu membawa pletokan yang baru kubuat tadi siang. Asumsiku adalah biar pletokanku berwarna hijau, toh ia sama-sama bambu. Pikirku kolor ijo akan takut mendengar suara nyaring dari pletokanku dan lari terbirit-birit. Jangankan terjaga dari tidur untuk menjaga kakak dan ibu.

Malah ibu yang menjagaku seperti hari-hari biasa karena aku terlanjur terlelap. Dalam hatin ibu pasti menertawakanku karena sikap anehku percaya tahayul.

Di zaman sekarang, dimana era digital tumbuh pesat, informasi seakan dapat diperoleh dengan mudah. Pastinya tidak cocok makhluk bernama kolor ijo itu ada, apalagi meneror warga jabodetabek. Sebab persebaran informasi bukan lagi dari mulut-kemulut yang dari tiap mulutnya pasti akan selalu dibubuhi kata-kata “pemanis cerita”. Masyarakat saat ini mungkin banyak yang sudah muak dengan mitos yang belum tentu terbukti kebenarannya.

Sepenggal cerita masa kecilku. Segala bentuk keceriaan seperti membakar ubi menggunakan daun bambu kering, membuat perahu dari bambu, dan sebagainya memberikan nuansa memorial yang tidak akan pernah terlupakan.

Kedekatanku dengan bambu mengantarkanku mendalaminya di bangku perkuliahan. Pengalaman, persahabatan, kesederhanaan, perselisihan, semuanya aku dapatkan dari kampungku sendiri. Kampung ramah dengan beragam keunikan di dalamnya di pinggiran Ibu Kota Jakarta.

Baca Juga;
  1. Doa untuk Anak Perempuan dan Laki-Laki yang Harus Diajarkan
  2. Doa Anak Sholeh dan Pintar Terbaik dan Terlengkap
  3. Keutamaan Menyantuni Anak Yatim dan Manfaatnya dalam Islam Lengkap

Demikianlah untaian Cerita Anak yang berada di pinggri kota serta kebiasan-kebiasaan yang dilakukan. Semoga bermanfaat bagi segenap pembaca sekalian, adapun penulis dalam cerita ini ialah Rizal Alamsyah. 

Belum ada Komentar untuk "Cerita Anak Pinggiran Ibu Kota"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel