Anak Masa Kini Menanti Empati


Jika seorang anak dibesarkan dengan kritik, ia belajar untuk menyalahkan!
Jika seorang anak dibesarkan dengan kekerasan,ia belajar untuk berkelahi!
Jika seorang anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar untuk gelisah!
Jika seorang anak dibesarkan dengan belas kasihan, ia belajar untuk memaafkan dirinya sendiri!
Jika seorang anak dibesarkan dengan ejekan, ia belajar menjadi pemalu!
Jika seorang anak dibesarkan dengan kecemburuan, ia belajar untuk iri hati!

Tetapi...

Jika seorang anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar untuk sabar!
Jika seorang anak dibesarkan dengan semangat besar, ia belajar untuk percaya diri!
Jika seorang anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar untuk menghargai!
Jika seorang anak dibesarkan dengan diterima apa adanya, ia belajar untuk mencintai!
Jika seorang anak dibesarkan dengan kejujuran, ia belajar mengenai kebenaran!
Jika seorang anak dibesarkan dengan kewajaran, ia belajar mengenai keadilan!
Jika seorang anak dibesarkan dengan suasana aman, ia belajar untuk percaya diri dan mempercayai!
Jika seorang anak dibesarkan dengan keramah-tamahan, ia belajar bahwa dunia ini adalah suatu tempat yang indah untuk hidup!

Faktaanak.com - Inti dari rentetan kata di atas adalah bahwa anak-anak belajar dari kehidupannya. Tak ada salahnya jika kita adopsi kata-kata itu dalam kehidupan keseharian kita dalam memberi pengajaran dan pendidikan pada anak didik kita. Karena pemaknaan dari rentetan kata yang mengandung harapan indah itu adalah  mengingatkan kembali pada kita sebagai guru dan orang tua kalau anak-anak merasakan persahabatan dalam kehidupannya, termasuk dalam belajar,  mereka akan belajar bahwa dunia ini tempat tinggal yang menyenangkan. Bukan sekadar paksaan dari pihak di luar dirinya.

Membuka Kembali Genggaman Memori

Saat ini saya yang telah berusia 41 tahun tidak menjadi bagian dari anak-anak. Namun saat melihat sosok anak jaman sekarang, selalu membuka kembali genggaman memori tentang masa kecil saya. Lalu membandingkannya. Berbahagialah kala kita masih bisa mengingat diri kita dan teman masa kanak-kanak dulu suka main kucing-kucingan (petak umpet), dokter-dokteran, juga permainan tradisional seperti galah, lompat tali (yang terbuat dari untaian tali gelang), congklak, engkle dan aanjangan (permainan anak perempuan yang menggunakan perabot palsu, seperti kegiatan masak-memasak).

Permainan masa kecil seperti itu juga ternyata melatih kreatifitas anak. Beberapa permainan  misalnya dokter-dokteran, di dalamnya ada yang berperan sebagai dokter, pasien, orang tua, anak (kadang-kadang pakai boneka), atau ada juga cerita lain misalnya guru dan murid-muridnya. Kreatifitas anak akan muncul dan terasah tanpa disadarinya. Kreatifitas itu muncul ketika sekumpulan anak-anak yang bermain tanpa disadari belajar membuat skenario lisan untuk permainan mereka, berbagi peran dan belajar seni peran secara alami. 
Kadang-kadang, untuk membuat terlihat lebih nyata dan “wah”, anak-anak (diam-diam) menggunakan barang-barang milik orangtuanya, seperti high heels milik ibu, lipstik, sarung, peci, dan jas. Kalau ada peran penjual makanan, tidak jarang pakai dedaunan yang diulek oleh si (pemeran) penjual makanan.

Anak Kekinian yang Anti Sosial

Tentu masa kecil yang sangat berkesan,  sangat indah seperti terpapar telah kita lewati tidak akan terulang. Namun kala kita bandingkan dengan anak-anak yang hidup di era saat ini, tentu yang menyembul adalah rasa kasihan. Rasa yang benar-benar membuat dada kita terasa sesak dengan  rasa onak iba. Betapa tidak, beberapa tahun ke belakang, kita malah menjadi saksi akan anak-anak kecil kecil dengan permainan Play Station, dan (bahkan) sudah kenal media sosial bernama Facebook sebelum batas usia minimal yang seharusnya untuk bergabung dengan jejaring pertemanan tersebut. 
Tak kalah menyedihkan, kala kita melihat melihat anak–anak masa kini malah menjadi anak-anak yang (cenderung) anti sosial karena diperkenalkan dengan permainan digital seperti PlayStation, dan malah sejak usia dini sudah diperkenalkan dengan permainan dalam gadget orang tua atau yang dibelikan khusus untuk si anak. Maka,  jangan heran bila tidak sedikit anak-anak masa kini asyik dengan permainan dalam jaringan (online).

Bandingkan dengan masa kanak-kanak kita yang terlampaui dengan indah. Sebelum tahun 1980, TVRI adalah saluran televisi kebanggaan, karena merupakan satu-satunya saluran televisi nasional. Setelah itu, televisi swasta nasional yang pertama kali ada adalah RCTI, di era 1990-an. Walaupun saat itu ada parabola, saya belum kenal saluran asing seperti Cartoon Network dan Disney. Saya masih sempat jadi pecinta acara Si Unyil yang tayang setiap Hari Minggu. Di sana ditawarkan pembelajaran social, religi serta karakter building lannya. 

Setelah stasiun televisi nasional bertambah, acara anak-anak pun semakin menggeliat dalam berbagai variasi. Anak mulai kenal dengan tokoh fiksi  semacam Power Rangers, dan Ksatria Baja Hitam. Tentunya anak-anak Indonesia di era tahun 2000-an, khususnya di kota besar atau dengan kemampuan ekonomi cukup sudah diperkenalkan dengan film anak-anak sejak usia dini, baik dari saluran televisi khusus anak atau di saluran televisi nasional. 

Anak-anak Sekarang Kurang Pengawasan Orang Tua

Sayangnya, kurang pengawasan atau pembiaran orangtua membuat anak-anak sekarang “kurang sehat” dengan dibiarkan menonton tidak sedikit acara televisi yang kurang mendidik seperti sinetron kisah percintaan dan infotainment. Melihat anak-anak sekarang, memantik rasa iba kita. Karena mereka lebih mengenal dan suka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. 

Kalau kita menoleh ke belakang, masa kejayaan anak Indonesia yang terakhir kali masih bisa menikmati indahnya kehidupan anak-anak saat banyak lagu-lagu anak, di era 90-an. Telinga dan hati mereka bias berakrab ria dengan lagu-lagu ciptaan Bu Kasur yang abadi, sampai lagu-lagu ciptaan Papa T. Bob.  

Berbahagialah  bagi anak-anak yang bisa menikmati dan menghayati muatan syair Lagu anak (komersil) yang cukup tenar misalnya lagu milik Bayu bersaudara, Susan dan Kak Ria Enes dengan lagunya “Punya Cita-cita”. Sepertinya, lagu anak mulai berakhir di zaman penyanyi cilik (masa itu), Joshua yang melejit dengan lagu “Main Air (diobok-obok)”. Setelahnya, masa keemasan itu menguap entah dibawa angin ke arah mana.

Miris yang Dirasakan Anak Zaman Sekarang

Tentu saja miris rasanya  jika menilai hal-hal yang dirasakan anak-anak zaman sekarang . Selain itu, jika lebih jauh, kehidupan anak-anak di Indonesia sekarang ini tampak mengkhawatirkan dengan adanya perkelahian anak yang bahkan berujung kematian, kekerasan fisik terhadap anak dan lainnya. Anak jaman kini menjadi bualn-bulanan budak kejahatan. Bisa menjadi pelaku pun menjadi korban. 

Mungkin masih membekas di ingatan kita, berita-berita yang sering kita lihat di televisi maupun yang kita baca di media cetak maupun internet tentang masih banyaknya anak yang menjadi korban dari kekerasan orang tuanya maupun dari orang-orang yang lebih dewasa di sekitar lingkungannya. Kekerasan fisik maupun pelecehan terhadap anak-anak makin banyak kita dengar dan kita lihat di berbagai media.

Generasi Kini Adalah Penerus Bangsa

Akankah anak-anak Indonesia kini, anak-anak “masa internet dan tivi kabel” ini, akan bahagia mengingat masa kecilnya seperti saya menuturkan masa kecil saya? Sudahkah nasib anak-anak ini mendapat perhatian serius pemerintah sebagai penerus bangsa kelak? Apakah anak-anak masa kini ini akan bisa melestarikan permainan tradisional dan budaya bangsa?

Pertanyaan berikutnya, dikhususkan bagi kita yang menjadi generasi di atas mereka. Sudahkah kita turut andil dalam mengawasi dan berkontribusi untuk perkembangan positif anak-anak tersebut agar menjadi generasi yang lebih baik? Anak-anak bangsa yang berlomba dengan zaman yang terus berkembang juga merupakan tanggung jawab kita bersama selain pemerintah. Menjadi contoh teladan dalam menghargai budaya bangsa dan sikap laku adalah hal paling sederhana yang bisa kita perbuat. Selain itu, tentu saja banyak hal yang bisa kita lakukan demi kemajuan anak-anak bangsa.


Orang Tua Memiliki Peran yang Strategis

Kita selaku orang tua sebenarnya memiliki peranan yang sangat strategis untuk memberikan sumbangsih positif  untuk menjadikan anak-anak Indonesia menjadi sosok penerus tongkat estafet kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Alangkah baiknya bila kita terus menerus-mengawasi dan memberikan bimbingan  kepada ana-anak kita agar mereka tidak lepas kontrol dan terjerembab kedalam keputusan keputusan yang salah akibat dari lingkungan di sekitarnya. 

Kita semua harus ingat bahwa anak merupakan titipan suci Allah SWT yang harus kita jaga dan kita bina agar menjadi generasi penerus yang baik. Tak ada salahnya membaca kembali dengan perlahan dan merenungkan kembali kata-kata yang tertata rapi di awal tulisan ini. 

Demikianlah tulisan Anak Masa Kini Menanti Empati yang saya buat, mohon maaf jika ada kesalahan dan terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pembaca. Penulis dalam artikel ini adalah Agus Setiawan. Trimakasih.

Belum ada Komentar untuk "Anak Masa Kini Menanti Empati"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel